Aku memujamu,
Aku selalu menatapmu dari tempatku,
Aku menyentuhmu dalam setiap mimpiku,
Apakah kau tahu itu ?
Di setiap detik,
Di setiap nafasku,
Hati ini memanggilmu,
Angin selalu membisikkan namamu,
Apakah kau dengar ?
Kamu tak tahu karena aku tak pernah memberitahumu
Kamu tak tahu apapun
Kamu tak tahu karena kamu tak bisa mendengarku
Sore itu kulangkahkan kakiku ke pasar. Tempat yang tak ingin selalu ku kunjungi. Tapi ku tepiskan rasa malas itu jauh-jauh saat mengingat besok adalah hari kelahirannya. Hampir setengah toko di pasar itu ku masuki tapi tak menemukan sesuatu yang mungkin cocok untuknya. Apa warna kesukaannya? Apa benda yang dia senangi? Aku tak tahu. Ya, aku tak tahu banyak tentang dirinya. Hanya namanya yang merajai istana hati ini. Dan ya, tanggal lahirnya yang aku tahu dari salah satu situs jejaring sosial yang saat ini merasuki jiwa remaja dunia, Facebook. Saat memasuki salah satu tokoh aksesories, mataku langsung terpaku pada sebuah gelang yang tergantung manis di dalam toko itu. Bentuknya lucu tapi cocok untuk cowok. Warnanya merah dan kuning. Kuputuskan untuk membelinya. Tapi saat akan membayarnya, mataku kembali terpaku pada sebuah gantungan tas berbentuk bola kaki yang keren. Aku ingat adikku pernah bilang kalau dia suka bermain bola kaki. Tanpa pikir panjang ku raih gantungan tas itu dan langsung membayarnya. Setelah itu, aku meninggalkan pasar itu. Ah, kotak kadonya belum ada. Ku lirik jam yang melingkar di tanganku. 17.45, berarti sudah 4 jam aku mengelilingi pasar ini. Sebentar lagi bumi akan Maghrib, jadi ku tinggalkan pasar itu. Masih ada besok, aku akan pikirkan caranya agar bisa mendapatkan kotak kado dan memberikannya besok.
***
Pikiranku menerawang mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk ku tuliskan pada selembar kertas di hadapanku. Penaku menari di atas kertas itu saat ku temukan kata-kataku. Aku tersenyum sendiri saat membaca suratku itu, tersenyum pada diriku karena melakukan hal terkonyol dalam hidupku. Berulangkali ku baca surat itu sebelum melipatnya. Aku naik ke tempat tidurku. Mataku terpejam namun pikiranku sibuk menyusun rencana bagaimana mendapatkan kotak kado dan cara memberikannya. Saat semuanya sudah tersusun dalam otakku, aku mulai memasuki gerbang mimpi sambil sebelumnya mengingat kembali isi suratku.
“Happy Birthday!! Wish U all the best and I hope God always bless U“
Aku harap kamu suka hadiah kecil ini. Terserah kamu mau apain nih kado. Di pake (hmm.. senangnya), disimpan (boleh juga), atau di buang (walaopun sedih rasanya). Whatever. Sorry, maybe this give, letter, and me, bothering U. Kamu bisa anggap semua ini Tidak ada. I’m not hope anything from U. And i’m never wish to be UR mine, I just want U to know that I always love U. U’ll be in my heart. Forever.
For U :
Kau adalah sebuah lukisan yang indah di pandang mata, mengaduk isi hati dan isi kepala. Sebuah sensasi maya yang begitu mudah di rasakan tapi terlampau sulit untuk diraih di alam nyata. (Pulau Guara)
_Secret Admirer_
Mataku terpejam. Bibirku tersenyum.
***
Bel panjang berbunyi nyaring tanda sekolah telah berakhir. Buru-buru ku masukkan buku-bukuku dan berlari meninggalkan kelas menuju sebuah toko yang terletak tidak terlalu jauh dari sekolah. Saat sampai di toko itu, aku langsung membeli kotak kado yang hanya satu-satunya di toko itu. Aku mengambil surat, gelang, dan gantungan tas itu dari dalam tasku dan menyusunnya rapi di kotak itu. Aku berlari kembali menuju gerbang sekolah. Menunggu. Aku punya sahabat yang kebetulan dekat dengannya, jadi kuputuskan untuk menitipkan kado itu padanya. Wajahku langsung berseri ketika ku lihat sahabatku keluar dari gerbang sekolah. Ku bawa dia menjauh dari keramaian. Ku keluarkan kado itu dari tasku dan memberikannya pada sahabatku itu. Aku meminta tolong untuk bersedia memberikannya pada cowok itu. Tentu, sebelumnya membuat dia berjanji agar tidak memberitahukan ini pada siapapun dan merahasiakan diriku.
Saat sahabatku memberitahukan bahwa cowok itu sudah menerimanya dan mengatakan bahwa dia sangat menyukainya, aku tersenyum bahagia.
***
Aku tersenyum ketika melihatnya di kejauhan. Tapi seketika aku terdiam menatap kosong pergelangan milik cowok itu. Aku tidak melihat gelang yang ku berikan melingkar di tangannya. Lemas. Aku berpaling melihat tas ransel yang dia kenakan berharap gantungan yang ku berikan tergantung manis di sana. Tak ada. Kecewa. Aku tersenyum. Getir. Aku mencoba menepis semua negative thinking yang mulai menyerang otakku. Menghibur diriku sendiri.
Bodoh. Ya, mungkin aku memang bodoh karena meski dia melakukan hal yang membuatku kecewa, dia, seorang yang lebih muda dariku itu, tetap bertahta di hati dan pikiran ini. Aku menyukainya, aku mengaguminya. Bohong, kalau aku bilang tidak ingin memilikinya. Tapi bagaikan melayang di udara dan kemudian di banting keras kembali ke bumi saat ku ingat kepercayaanku berlawanan dengannya dan saat ku sadari aku berasal dari keluarga yang agamais tamparan yang amat keras mendarat di pipi ini. Tembok penghalang itu terlalu tinggi untuk ku gapai. Tersenyum. Diriku tersenyum saat menyadari aku hanya akan bisa memeluk bayangnya. Hanya bisa bermain bersama ilusi semu yang ku buat sendiri. Tapi aku. A secret admirer, akan tetap menatapnya dari kejauhan, menikmati bahagianya, sedihnya, senyumnya, tawanya, tangisnya, setiap gerakannya.
***
Aku berjalan di tepi pantai. Menikmati angin yang membelaiku lembut. Ku dengar sebuah bisikan yang selalu menghampiri telingaku. Aku tersenyum dan memejamkan mataku. Ku nikmati musik dari sang ombak. Ku resapi kehangatan dari senja. Kurasakan lembutnya pasir putih di telapakku. Ku gerakkan jari tanganku di atas pasir, menuliskan sebuah nama yang di bisikkan oleh angin. Ah, ombak datang. Kurebahkan diriku di depan nama itu, melindunginya dari ombak yang mungkin akan menghapusnya.

nURUL mY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar