Minggu, 07 Desember 2014

Tentang Menunggu-mu


Menunggu I :
Masih tertanam jelas diingatanku,
dengan teh manis yang tinggal separuh, 
dengan cerita yang tak habis kubaca,
pada sore yang abu-abu hari itu,
pada bising yang mengganggu,
dan pada tiga kursi kosong yang menemaniku menunggumu.
Aku pergi.

Menunggu II :
Masih disini.
Phoenam, tak akan hilang nama itu dariku.
Hanya seperti kemarin.
Teh manis. Buku. Penghuni hati yang berpesta.
Dan seperti menunggu kemarin pun,
aku pergi.
Tapi kali ini bersama hujan.
Dari langit dan dari mataku.

Menunggu III :
Aroma tanah basah sisa guyuran hujan kemarin.
Matahari yang bersinar lembut.
Riak tenang air danau.

19 putaran, 371 langkah.
Kau datang.
Aku bahagia. 
Aku yakin merasa bahagia. 
Tapi di dalam hatiku,
Sesuatu mendesak, memaksa untuk keluar.
Lelah membendung, kubiarkan ia keluar mengalir.
Di dalam hati.

 Namun,
Seperti sebelum-sebelumnya, menunggumu selalu menyenangkan.
Aku suka saat ada ratusan kupu-kupu berterbangan didalam perutku.
Aku suka gemuruh didadaku.
Aku suka menunggumu. Selalu.
Tapi aku harus berhenti.
Because you asked me to.
:')

Kamis, 05 Juni 2014

Di angka dua satu-ku, Empat Enam-mu

Di angka dua satu-ku, Empat enam-mu.
Untuk malam-malam lelap yang terjarah oleh tangisku.
Untuk lengan-lengan yang lelah karena menggendongku.
Untuk hari-hari yang merepotkan karena kenakalanku.
Untuk air mata yang jatuh karena pembangkanganku.
Maaf.

Diangka dua satu-ku, Empat enam-mu.
Untuk fajar yang kau jemput untuk menyuapiku.
Untuk tawa yang selalu menjadi obatku.
Untuk cerita pemanas telinga namun tak bosan kudengar.
Untuk masakan terenak yang pernah ada.
Terima kasih.

Di empat enam-mu.
Untuk terlahir indah dan menjadi Ibuku.
Untuk Ibu paling hebat di dunia.
Aku menyayangimu.

Kami menyayangimu, Mama...


Selasa, 22 April 2014

Katanya Aku


Ini tentang seorang lelaki. Lelaki dari kotak masa lalu yang masih, bahkan terlalu sering kubuka. Lelaki yang sangat hebat itu mengatakan diriku penganut kapitalisme dan hedonisme. Lucu bukan? Dia bahkan belum sebulan mengenalku dan dia sudah menjudge diriku penganut istilah yang aku sendiri kurang mengerti maknanya. Katanya, idealogi kami berbeda. Urusan perasaan, pentingkah masalah persamaan atau perbedaan idealogi? Kita bukan mau membangun negara bukan?
Akh sudahlah. Mungkin hal itu memang lebih penting buatmu.

Aku menyayangimu tapi harus melupakanmu.

Selasa, 14 Januari 2014

Musim

Hujan pertama menyentuh bumi Oktober lalu. Membuat langit seketika menyendu namun tak kelam. Tentu saja. Hujan tak pernah membawa celaka. Hujan adalah limpahan berkah dari Atas. Tiap tetesnya menghidupi berbagai macam tumbuhan dan makhluk yang disiraminya. Musim berhujan telah tiba. Aku sangat suka hujan.

Tapi tahukah? Hujan tak pernah datang sendirian. Entah bagaimana cara. Selalu ada rindu yang membuntutinya. Rindu yang hadir lalu menyapa. Dengan anggun. Tanpa tahu, yang ia kunjungi sedang merana meladeninya. Akh kadang rindu itu kejam. Atau haruskah aku salahkan hujan atas rindu ini? Aku rasa tidak. Ia tak berdosa atas rindu yang datang.

Perlukah aku menyebut musim ini 'musim rindu'? Karena aku tak menghiraukan lagi hujan di luar saat rindu mengacak-acak ruang di hatiku.
Ini musim hujan atau musim rindu?

Atau begini saja, Musim hujan sama dengan musim rindu. Setuju?