Kamu
bukanlah putih,
Bukan
pula kelam,
Kamu
itu… Abu-abu!
Desember, 2009.
Senja hari ini terasa indah bagiku. Matahari
yang hendak turun ke peraduannya dan ombak yang terus menghantam ke tepian
menemaniku menunggu dirinya. Beberapa menit yang lalu dia memintaku untuk
bertemu disini. Sudah beberapa menit yang lalu. Dinginnya panggul yang ku
duduki sekarang terasa mulai menusuk dagingku. Aah dimana dirinya? Tapi aku akan terus menunggu dirinya, menunggu
dia yang kusayangi. Saat matahari sudah membentuk setengah lingkaran di ujung
laut sana ,
kudengar namaku di panggil. Aku berbalik ke arah suara itu dan kudapati dirinya
sedang berdiri disana dengan senyuman. Tapi kenapa senyuman itu membuat hatiku
resah?.
“Sorry”
Aku tersenyum, walau kecewa kurasa. Dia selalu
begitu. Hanya maaf yang dia ucapkan. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan kenapa dia
terlambat. Tapi itu tidak masalah, asalkan dia datang, itu cukup bagiku.
Kami duduk berdua diatas panggul semen yang
menghadap langsung ke laut lepas. Angin pantai mengibas-ngibaskan rambutku.
Senyum tak lepas dari wajahku saat itu. Beberapa saat, dia hanya terdiam. Dan
saat dia membuka mulut, kata-kata yang keluar dari mulutnya itu membuat
perubahan raut di wajahku. Dadaku sakit. Kurasakan mataku mulai menghangat. Aku
tak sanggup mendengarnya, yang meminta untuk mengakhiri hubungan kami. Masalah
keluarga. Itu alasannya. Tapi kenapa harus putus? Tak tahukah dia, betapa
sayangnya aku padanya? Dengan mudahnya dia mengucapkan kata itu lagi serta
dengan alasan yang tidak bisa aku terima.
Kejadian-kejadian beberapa bulan yang lalu
kembali terputar di otakku. Seperti slide-slide hitam putih yang melintas di
depan mataku.
“aku mau kita putus!” air mataku berlomba
untuk keluar saat dia mengucapkan itu. Kata-kata itu mampu merobek-robek
hatiku. Hidupku seakan tak ada artinya lagi. Aku melampiaskannya dengan meminum
minuman yang tak seharusnya aku sentuh. Menyileti tanganku yang tak berdosa.
Sakit di hatiku lebih perih dibanding dengan perihnya tangan ini. Untuk
bernafaspun terasa sulit bagiku. Aku sangat menyayanginya. Aku sayang dia yang
pemarah, dia yang kasar, dan dia yang angkuh.
Ya, kami pernah pacaran dan putus kemudian
kembali lagi. Tapi hanya beberapa bulan balikan dengannya, sekarang dia meminta
untuk mengakhiri semuanya. Mengakhiri kisah yang telah kami rajut selama ini.
“ Lupakan aku, Ana “ Dheg. Aku menatapnya
nanar. Yang aku tahu sekarang dadaku terasa sesak. Dia menatapku kembali,
menegaskan kata-katanya. Kehangatan dimataku pun tak sanggup lagi kutahan.
Butir bening itu menghambur keluar. Butiran bening yang bukan berasal dari mata
tapi dari muara hatiku. Hatiku perih. Mungkin aku akan bisa menerima kalau dia
meminta untuk putus walau berat bagiku, tapi melupakannya? Tak sadarkah dia
bahwa nyawa ini adalah dirinya? Berlutut. Ya, aku berlutut di depannya, meminta
menarik kembali kata-katanya itu. Dia bergeming. Menatapku sekilas kemudian
berlalu. Yang dia tak tahu, saat dia pergi, dia meninggalkan luka dihatiku.
Luka yang tak ku tahu kapan akan sembuh. Meninggalkan air mata yang tak tahu
kapan akan reda.
***
Beberapa minggu setelah kejadian itu, air mata menjadi sahabat
setiaku selama beberapa hari. Tubuhku melemah hanya karena memikirkan dirinya.
Dirinya yang memberiku bahagia sekaligus luka. Aku hanya berbaring di tempat
tidur, enggan melakukan kegiatan lain. Berlebihan memang, tapi rasa yang ada
dalam hati ini yang membuatku berbuat begini. Kalian menyebutnya cinta. Tapi
bagiku, ini bukan cinta, andai ada kata yang bisa menggambarkan sesuatu yang
lebih dari cinta, maka itulah yang kurasakan.
Hari berganti hari, aku mulai mencoba untuk membuka hatiku untuk
yang lain. Sekedar mengisi kekosongan yang kurasa saat ini. Aku menjalin
hubungan dengan orang lain, berharap aku bisa menghapus walau sedikit luka di
hatiku. Tapi, hubungan yang baru kujalin tak pernah bertahan lama, selalunya
berakhir karena dirinya. Setiap kali diri ini menjalin hubungan dengan
seseorang, dia mendekat dan kemudian menjauh setelah hubunganku hancur. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Aku
bimbang. Aku galau. Dikala diri ini mencoba melupakannya, dia selalu datang,
mengatakan kalau dia sayang padaku tapi dia tak mau kembali karena dia takut
hanya akan memberi luka untukku. bukankah yang dia lakukan saat ini malah
memberiku luka yang lebih? Dia
memberikan harapan untukku. Tapi aku tahu harapan itu semu. Kosong. Karena
walaupun selama ini aku mencoba menjadi terbaik untuknya, dia tak pernah
menghargai itu. Bahkan aku meninggalkan orang-orang yang kusayangi demi
dirinya, dia pun tak pernah menyadari itu. Walau dia melakukan hal itu padaku,
jujur, aku masih menyayanginya. Ya, tak berkurang sedikitpun rasa itu.
Nasehat-nasehat dari sahabatku untuk melupakannya tak aku hiraukan. Aku
bertahan. Entah bertahan untuk dirinya atau bertahan untuk tersakiti.
***
Setelah memberikan bahagia dan air mata beberapa hari ini, tak lama
lagi hari dimana aku dikeluarkan dari rahim ibuku akan tiba. Dia membuat janji
padaku akan menjadi yang pertama mengucapkan selamat. Bahagia. Tentu saja.
Banyak yang mengatakan kalau seseorang yang pertama menyampaikan ucapan selamat
di hari yang berharga itu adalah orang yang benar-benar menyayangi kita. Senyum
menghiasi wajahku menuju hari itu. Masih ada harapan bahwa dia masih
menyayangiku. Tapi, saat hari itu tiba, tak kudapati pesan ataupun telefon
darinya yang mengucapkan selamat. Tapi aku tetap menunggunya hingga kantuk yang
memaksaku untuk akhirnya terlelap. Dan setelah sinar pagi membangunkanku, yang
seketika teringat olehku adalah sahabat kecilku, berharap dilayarnya akan
terpampang namanya disana. Kecewa langsung kurasakan ketika tak kudapati nama
itu. 3 hari berlalu, barulah dia mengucapkan itu. Ya, 3 hari setelah hari
kelahiranku. Mungkin baginya ini adalah hal sepele, tapi tidak bagiku. Aku
benar-benar kecewa. Kini, jiwa ini sudah terlalu letih. Setelah hari itu, aku
memutuskan untuk menjauh darinya. Mencoba untuk benar-benar melupakannya.
Mungkin tidak untuk dalam waktu dekat ini, tapi aku yakin suatu saat nanti. Ya,
suatu saat nanti.
***
Desember, 2011.
Senja hari ini sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yang berbeda
hanyalah aku tak disampingnya lagi dan juga tidak memikirkannya lagi. Di pantai
ini, untuk terakhir kalinya aku akan mengingat dirinya, mengingat semua
kenangan dan luka yang telah dia torehkan di hatiku. Mengingat semua
kebodohan-kebodohan yang sudah aku lakukan untuknya dahulu. Karena disampingku
sekarang telah ada seseorang yang akan selalu membuatku tersenyum. Yang akan
selalu menghapus air mataku. Dan yang jelas, dia yang akan merubah kisahku,
merubah sedihku. Di pantai ini, bersama angin yang berhembus, kenangan
tentangmu pun akan ikut bersamanya.