Terik matahari tak segan-segan menghujam seantero bumi. Suara bising yang berasal dari mesin seperti akan memecahkan gendang telinga, menusuk-nusuk hingga naik ke ubun-ubun. Peluh sebesar biji jagung perlahan menuruni wajah Lutfi. Samar-samar bau tak sedap menyergap hidungnya. Dia ingin segera turun dari bis pengap itu. Tubuh Lutfi terhuyung karena supir bis itu menginjak rem. Lutfi menengok keluar jendela. Seorang nenek yang hampir renta perlahan menaiki tangga bis. Semua orang yang ada di bis itu hanya menonton nenek yang sedang berusaha naik itu, tak seorangpun berniat menolongnya. Setelah berhasil naik, nenek itu mengedarkan pandangannya mencari tempat yang bisa ia duduki namun mata yang mulai rabun itu tak menemukannya. Lutfi hendak beranjak dari kursinya berniat untuk memberikan nenek itu tempat duduknya tapi tiba-tiba seorang cewek yang tepat berada di samping nenek itu, berdiri kemudian dengan lembut dan senyuman dia menuntunnyauntuk duduk di tempat yang semula dia duduki. Lutfi menatap kagum cewek itu. Di zaman sekarang ini sangat jarang ditemukan orang yang mau berbagi dan menolong sesamanya, semua tentang diri mereka sendiri. Apalagi dia seorang ‘cewek’. Makhluk Tuhan satu ini di zaman sekarang menjunjung tinggi yang namanya “gengsi”. Lutfi masih memperhatikan cewek itu yang kini sedang berdiri berpegangan pada tiang bis. Dari belakang Lutfi mengamati cewek itu. Rambutnya yang hitam, lurus, dan panjang ia biarkan terurai. Saat cewek itu berbalik ke belakang, dia mendapati Lutfi sedang menatapnya. Lutfi jadi salah tingkah dia merasakan darahnya mengalir lebih cepat dari biasanya dan jantungnya melantunkan musik milik DJ Sammy, hal itu membuat cewek itu menyunggingkan senyumnya. Bersinar. Dilihat dari fisik dia seperti cewek yang lemah namun senyumnya membuat dia terlihat kuat.
Beberapa menit kemudian, bis yang Lutfi tumpangi berhenti di Bus Stop. Hal itu mebuyarkan lamunan Lutfi. Dilihatnya cewek yang sempat mengisi pikirannya itu sedang melangkah menuju pintu bis untuk turun. Mata Lutfi mengikuti cewek itu berjalan di trotoar hingga bis pun berlalu. Ada rasa yang terlintas dihati Lutfi yang dia sendiri tidak bisa menafsirkan perasaan itu. Tapi bersama angin yang menghempas tubuhnya yang dipenuhi peluh, perasaan itu terbawa bersamanya.
***
Dikamar berukuran 5x6 m, terdapat 1 pasang meja belajar yang diatasnya tergelatk buku-buku yang dibiarkan berserakan, di salah satu sudut kamar terdapat sebuah gitar yang menjadi teman setia pemiliknya, di sudut lainnya ada sebuah lemari pakaian, di seluruh dinding kamar itu tertempel poster band-band luar, dan sebuah tempat tidur mungil yang saat ini diatasnya Lutfi sedang membolak-balikkan tubuhnya, dia tampak gelisah. Dia melirik jam bekernya yang menunjukkan pukul 03.00.
“Shit! Kenapa dia nggak bisa ilang dari pikiran gw sih!” ucapnya sedikit kesal. Cewek yang di bus siang tadi saat ini memenuhi otak Lutfi membuatnya tak bisa tidur. Dia tidak sabar lagi agar bulan segera tergantikan oleh matahari. Dia ingin melihat senyum tulus dari cewek itu. Setelah cukup lama, mata Lutfi perlahan terpejam dan akhirnya memasuki gerbang mimpi.
***
Dia berlari kecil meninggalkan kampusnya menuju Halte Bis karena dia tidak mau ketinggalan bis. Dengan nafas yang sedikit tersengal-sengal Lutfi melirik jam yang melingkar ditangan kirinya. Jarum jam itu menunjukkan pukul 12.45
“seharusnya sih belum terlambat”
Dia mengalihkan pandangannya ke jalan dan dari kejauhan tampak bis yang kemarin dia tumpangi. Saat bis itu berhenti, Lutfi mengangkat kakinya menaiki tangga dengan suatu harapan. Dan harapan itu sepertinya terkabul. Saat telah berada di dalam bis itu, Lutfi mendapati cewek itu sedang duduk di tempat yang sama dengan kemarin. Lutfi tersenyum kecil saat cewek itu melihatnya dan melempar senyuman. Lutfi segera mencari tempat duduk kosong di barisan paling belakang. Dari tempat itu dia bisa memperhatikan cewek itu tanpa diketahui olehnya.
Begitulah seterusnya, Lutfi terus memperhatikan cewek itu dari tempat duduk paling belakang. Dan setiap hari itu pun dia terus menemukan 1 kebaikan yang cewek itu lakukan. Suatu hari, dengan hati yang penuh kagum Lutfi menyaksikan cewek yang sampai sekarang ia belum tahu namanya sedang menggendong bayi, menghiburnya, menyanyikan sebuah lagu yang bayi suka. Lutfi melihatnya seperti sedang melihat seorang malaikat, ketulusan yang terpancar dari wajahnya, keikhlasan yang terpampang di senyum indahnya. Semua gerakannya, wajahnya, senyumnya adalah sebuah seni yang tak ternilai harganya. Bagi Lutfi cewek itu lebih memiliki makna tersirat yang indah di banding dengan lukisan Monalisa kebanggaan orang
“sungguh bidadari terakhir yang telah di utus Tuhan” batin Lutfi.
Dari hari ke hari, minggu ke minggu, hingga bulan-bulan berlalu Lutfi terus memperhatikan, mengamati dan menikmati tiap kebaikannya. Dan sampai saat ini pun dia belum pernah menghampirinya walau hanya sekedar menyapa. Lutfi tetap memperhatikan di tempat duduk belakang. Dan makin hari pula kekaguman terus tumbuh dihatinya. Tapi Lutfi tidak menyadari kalau makin hari pula wajah cewek itu bertambah pucat dan makin lemah. Hingga suatu hari, ketika Lutfi menaiki tangga bis itu, dan melihat ke tempat biasa cewek itu duduk, dia tidak mendapatinya berada disitu. Tapi Lutfi tetap duduk di belakang dan terus menatap kursi kosong yang biasanya cewek itu berada. 3 hari telah berlalu dan lutfi tetap tidak mendapati cewek itu. Akhirnya rasa penasaran yang selama beberapa hari ini dia pendam memberanikannya untuk bertanya ke supir bis itu.
“maaf pak, cewek yang selalu duduk di kursi itu, kok nggak keliatan lagi?” Lutfi menunjuk pada kursi yang dekat dengan pintu bis.
“oh, Mbak Lucia… dengar-dengar sih, katanya dia sudah meninggal beberapa hari yang lalu…” Lutfi tersentak mendengar jawaban supir bis itu.
“Meninggal…?” tanyanya lagi sedikit tidak percaya. “kenapa bisa meninggal?” sambungnya.
“katanya sih sakit…” supir bis itu terlihat berpikir. “lio… leo… leukimia! Iya, Leukimia. Kasihan banget mbak Lucia, dia orang yang baek cantik pula, kenapa cepat-cepat dipanggil sama Tuhan…?” tukas supir bis itu. “katanya orang baek memang selalu cepat-cepat dipanggil supaya tidak berbuat yang jahat nantinya..”
Lutfi masih tetap dalam diam. Dia shock. Tidak percaya.
“ya… yang baik memang selalu lebih dulu dijemput oleh-Nya” batin Lutfi. “tapi kenapa harus dia? Apa masih ada orang seperti dia di dunia ini? Aku tak yakin.” Lutfi hanya bisa mengikhlaskan kepergian Lucia. Selamat jalan Bidadari terakhirku.
END